TANGGERANG, Kamis 18 September 2025. Peran penting ketahanan pangan dalam mewujudkan kesejahteraan petani, peternak, dan perekonomian nasional membutuhkan kebijakan yang berkeadilan. Namun, Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH) No. 18 Tahun 2009 jo. UU No. 41 Tahun 2014 dinilai belum sepenuhnya berpihak pada peternak rakyat dan belum mampu menjawab tantangan zaman. Karena itu, diperlukan revisi regulasi yang lebih adaptif terhadap perubahan global serta mendorong korporatisasi peternakan rakyat secara nyata dan berkelanjutan.
Sebagai bentuk upaya perubahan kebijakan, SAINSX–IPB University, ILDEX Indonesia, AIPI, dan SASPRI bersama Komunitas Peternak Unggas Nasional menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Rekonstruksi Kebijakan Pembangunan Peternakan: Mendorong Revisi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan”. Acara ini mempertemukan akademisi, pemerintah, pelaku usaha, dan peternak rakyat dalam dialog terbuka.
Dalam sambutannya, Prof. Syarif Hidayat, Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI, menegaskan bahwa sektor peternakan merupakan pilar penting ketahanan pangan nasional. Namun, ia menilai regulasi yang sering tidak berpihak kepada peternak kecil, sehingga banyak usaha rakyat terancam gulung tikar. “Undang-undang yang menyamakan aturan antara peternak rakyat dan industri besar justru menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.
Prof. Syarif menambahkan, revisi UU PKH menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat posisi peternak rakyat sebagai subjek utama pembangunan. Ia mendorong terbentuknya kelembagaan kolektif seperti koperasi agar peternak mampu bersaing dan berkontribusi pada swasembada pangan. “Seminar ini adalah momentum untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang adil dan berpihak kepada rakyat,” tuturnya.
Sementara itu, Leonardo Adypurnama Alias Teguh Sambodo, Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup, Bappenas, menyampaikan bahwa Indonesia masih menghadapi defisit daging sapi dan susu di tengah meningkatnya kebutuhan nasional. Program Makan Bergizi Gratis menjadi tantangan sekaligus peluang bagi sektor peternakan untuk memperkuat produksi dalam negeri. “Jika tidak ada perubahan, impor akan terus meningkat dan mengancam ketahanan pangan nasional,” tandasnya.
Penggagas Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), sekaligus Wali Utama SASPRI, Prof. Muladno, menyoroti adanya paradoks dalam kebijakan peternakan nasional. Menurutnya tanpa anggaran pemerintah, daging dan telur ayam ras nasional justru mengalami surplus produksi. Sebaliknya, dengan anggaran besar untuk peternak sapi, populasi sapi malah terus menurun.
Ia juga menyoroti makin berkurangnya jumlah peternak ayam mandiri, sementara jumlah investor perunggasan meningkat. “Peternak menjadi buruh di kandang sendiri dalam program kemitraan inti-plasma. Di lahan sendiri, peternak makin tidak berdaulat,” tegasnya.
Sebagai solusi, Prof. Muladno menawarkan konsep integrator horizontal melalui SPR. “Kuncinya ada pada perubahan mental, karakter, dan pola pikir peternak kecil agar bisa berbisnis secara kolektif berjamaah. Sinergi tetra-helix antara pemerintah, universitas, pengusaha, dan komunitas peternak kecil harus diwujudkan,” jelasnya. (PI)